Seorang Sultan Mesir konon mengumpulkan orang orang
terpelajar, dan-seperti biasanya--timbullah pertengkaran.
Pokok masalahnya adalah Mikraj Nabi Muhammad. Dikatakan,
pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat tidurnya,
dibawa ke langit. Selama waktu itu ia menyaksikan sorga
neraka, berbicara dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali,
mengalami pelbagai kejadian lain--dan dikembalikan ke
kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Kendi air
yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya
masih belum habis ketika Nabi turun kembali.
Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran
waktu disini dan di sana berbeda. Namun Sultan menganggapnya
tidak masuk akal.
Para ulama cendikia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal
bisa saja terjadi karena kehendak Tuhan. Hal itu tidak
memuaskan raja.
Berita perbedaan pendapat itu akhirnya didengar oleh Sufi
Syeh Shahabuddin, yang segera saja menghadap raja. Sultan
menunjukkan kerendahan hati terhadap sang guru yang berkata,
"Saya bermaksud segera saja mengadakan pembuktian.
Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan bahwa ada
faktor-faktor yang bisa ditunjukkan, yang menjelaskan cerita
itu tanpa harus mendasarkan pada perkiraan ngawur atau akal,
yang dangkal dan terbatas."
Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Sang Syeh
memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar
melalui jendela itu. Di pegunungan nunjauh disana terlihat
olehnya sejumlah besar perajurit menyerang, bagaikan semut
banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan.
"Lupakan saja, tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak
ada seorang perajurit pun yang tampak.
Ketika ia membuka jendela yang lain, kota yang di luar
tampak terbakar. Sultan berteriak ketakutan.
"Jangan bingung, Sultan; tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ketika pintu itu ditutup lalu dibuka kembali, tak ada api
sama sekali.
Ketika jendela ketiga dibuka, terlihat banjir besar
mendekati istana. Kemudian ternyata lagi bahwa banjir itu
tak ada.
Jendela keempat dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir
seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus. Dan setelah
jendela tertutup lagi, lalu dibuka, pemandangan itu tak ada.
Kemudian Syeh meminta seember air, dan meminta Sultan
memasukkan kepalanya dalam air sesaat saja Segera setelah
Sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang
sepi, di tempat yang sama sekali tak dikenalnya, karena
kekuatan gaib Syeh itu. Sultan marah sekali dan ingin
membalas dendam.
Segera saja Sultan bertemu dengan beberapa orang penebang
kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan
siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa ia terdampar
di pantai itu karena kapalnya pecah. Mereka memberinya
pakaian, dan iapun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu ada
seorang tukang besi yang melihatnya gelandangan, dan
bertanya siapa dia sebenarnya. Sultan menjawab bahwa ia
seorang pedagang yang terdampar, hidupnya tergantung pada
kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa mata pencarian.
Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota
tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang wanita yang
pertama ditemuinya, meninggalkan tempat mandi, dan dengan
syarat si wanita itu harus menerimanya. Sultan itupun lalu
pergi ke tempat mandi umum, dan di lihatnya seorang gadis
cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apa gadis itu
sudah kawin: ternyata sudah. Jadi ia harus menanyakan yang
berikutnya, yang wajahnya sangat buruk. Dan yang berikutnya
lagi. Yang ke empat sungguh-sungguh molek. Katanya ia belum
kawin, tetapi ditolaknya Sultan karena tubuh dan bajunya
yang tak karuan.
Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri didepan Sultan katanya,
"Aku disuruh ke mari menjemput seorang yang kusut di sini.
Ayo, ikut aku."
Sultanpun mengikuti pelayan itu, dan dibawa kesebuah rumah
yang sangat indah. Ia pun duduk di salah satu ruangannya
yang megah berjam-jam lamanya. Akhirnya empat wanita cantik
dan berpakaian indah-indah masuk, mengantarkan wanita kelima
yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita itu sebagai
wanita terakhir yang ditemuinya di rumah mandi umum tadi.
Wanita itu memberinya selamat datang dan mengatakan bahwa ia
telah bergegas pulang untuk menyiapkan kedatangannya, dan
bahwa penolakannya tadi itu sebenarnya sekedar merupakan
basa-basi saja, yang dilakukan oleh setiap wanita apabila
berada di jalan.
Kemudian menyusul makanan yang lezat. Jubah yang sangat
indah disiapkan untuk Sultan, dan musik yang merdu pun
diperdengarkan.
Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu:
sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya.
Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini Sultanlah yang
harus menanggung hidup keduanya bersama ketujuh anaknya.
Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan pun
kembali menemui tukang besi untuk meminta nasehat. Karena
Sultan tidak memiliki kemampuan apapun untuk bekerja, ia
disarankan pergi ke pasar menjadi kuli.
Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat
berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang
dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.
Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di
tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang
lalu. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air
wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali di
istananya, bersama-sama dengan Syeh itu dan segenap pegawai
keratonnya.
"Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat" teriak
Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi
kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha Kuasa,
hingga berani melakukan hal itu terhadapku?"
"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut,
"yakin waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu."
Para pegawai keraton membenarkan hal itu.
Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai sepatah katapun.
Ia segera saja memerintahkan memenggal kepala Syeh itu.
Karena merasa bahwa hal itu akan terjadi? Syeh pun
menunjukkan kemampuannya dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat).
Iapun segera lenyap dari istana tiba-tiba berada di
Damaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu.
Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan:
"Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan
rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan
tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya
kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk
membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah
itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu belum
habis isinya?
Yang penting bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu.
Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah makna
kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali.
Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna."
Catatan
Dinyatakan, setiap ayat dalam Quran memiliki tujuh arti,
masing-masing sesuai untuk keadaan pcmbaca atau
pendengarnya.
Kisah ini, seperti macam lain yang banyak beredar di
kalangan Sufi, menekankan nasehat Muhammad, "Berbicaralah
kepada setiap orang sesuai dengan taraf pemahamannya."
Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawas, adalah: "Tunjukkan hal
yang tak diketahui sesuai dengan cara-cara yang 'diketahui'
khalayak."
Thursday 2 April 2015
Nelayan dan Jin
uatu hari ada seorang nelayan, yang terbiasa melaut sendirian, menemukan
sebuah botol kuningan dalam jalanya. Sumbat botol itu terbuat dari
timah.
Meskipun bentuknya agak berbeda dari botol lain yang lazim dilihatnya, nelayan itu berpikir kalau-kalau botol tersebut berisi sesuatu yang berharga. Lagipula, hari itu tangkapannya jelek, paling tidak ia bisa menjual botol kuningan itu kepada pedagang kuningan.
Botol itu tidak begitu besar. Pada lehernya, tergores simbol aneh, Meterai Sulaiman, Raja dan Guru. Di dalam botol itu terperangkap suatu jin yang menakutkan, dan Sulaiman sendiri telah membuangnya ke laut agar manusia terlindung dari roh itu sampai saatnya tiba ketika tampil seseorang yang bisa mengendalikannya, menempatkan jin itu pada tugasnya sebagaimana semestinya, yaitu melayani manusia.
Tetapi, nelayan itu tak mengetahui hal tersebut. Yang ia tahu adalah bahwa botol itu bisa ia selidiki, dan mungkin akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Lupa akan petuah, 'Manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya,' nelayan itu menarik sumbat timahnya.
Ia menelungkupkan botol itu, namun tampaknya kosong. Lalu, ia meletakkan dan memandangi botol itu. Kemudian, terlihat suatu gumpalan asap tipis, yang semakin pekat, membumbung naik dan membentuk hantu raksasa dan seram, yang berseru dengan nyaring, "Aku Pemimpin Bangsa Jin yang mengetahui rahasia peristiwa-peristiwa gaib. Aku memberontak terhadap Sulaiman; dan ia mengurungku dalam botol laknat ini. Nah, sekarang kau akan kubunuh!"
Nelayan itu ketakutan dan tersungkur di pasir sambil menangis, "Akan kau bunuh jugakah orang yang membebaskanmu?"
"Tentu saja," kata jin itu, "Sebab berontak adalah sifatku, dan merusak adalah keahlianku, meskipun kurungan itu telah menahanku ribuan tahun lamanya."
Sekarang, nelayan itu menyadari bahwa, alih-alih mendapat keuntungan dari tangkapan tak disangka itu, ia akan binasa begitu saja tanpa alasan yang bisa dimaklumi. Ia memandangi meterai pada sumpal botol itu, dan mendadak terpikir olehnya suatu ide. "Kau tak mungkin muncul dari botol itu, botol itu terlalu kecil," katanya.
"Apa! Kau meragukan ucapan Pemimpin Para Jin?" teriak bayangan itu. Dan, jin itu pun mengubah dirinya menjadi gumpalan asap dan ia masuk kembali ke dalam botol itu. Nelayan itu mengambil sumbat tadi dan memeteraikannya pada botol itu. Kemudian, botol itu ia lemparkan jauh-jauh, ke kedalam lautan.
Berpuluh-puluh tahun lewat, sampai suatu hari nelayan lain, yaitu cucu nelayan pertama tadi, melabuhkan jalanya di tempat yang sama, dan mendapati botol itu. Ia menaruh botol itu di pasir. Ketika baru saja hendak membukanya, ia teringat akan nasihat ayahnya, yang diturunkan dari kakeknya. Bunyi nasihat itu: 'Manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'.
Dan tepat pada saat itu, karena guncangan pada penjara logam itu, si jin terbangun dari tidurnya, dan berseru, "Hai putra Adam, siapa pun kau, buka sumbat botol ini dan bebaskan aku! Sebab Akulah Pemimpin Bangsa Jin yang mengetahui rahasia peristiwa gaib."
Karena mengingat pesan leluhurnya, nelayan muda itu pun meletakkan botol itu dengan hati-hati di dalam sebuah gua. Lalu, ia mendaki bukit karang yang terjal di dekat situ, mencari pondok seorang bijaksana.
Ia pun menceritakan semuanya kepada orang bijaksana itu, yang berkata, "Pesan leluhurmu itu benar adanya kau harus melakukannya sendiri, tetapi terlebih dahulu kau harus memahami cara mempergunakannya."
"Tetapi, apa yang harus kulakukan?" tanya pemuda itu. "
Pasti ada sesuatu yang kau rasa ingin kau lakukan?" kata orang bijaksana itu.
"Aku ingin membebaskan jin itu agar ia bisa memberiku pengetahuan ajaib atau mungkin gunungan emas, dan lautan jamrud, dan semua pemberian lain yang biasa diberikan oleh para jin."
"Harapanmu itu tidak akan terjadi," kata sang guru, "Sebab ketika jin itu dibebaskan, ia mungkin tidak akan mengabulkan keinginanmu itu atau mungkin ia akan memberikannya tetapi mengambilnya kembali karena kau tak punya cara untuk melindungi para jin, belum lagi petaka yang bisa saja menimpamu ketika kau melakukan sesuatu serupa itu. Sebab, manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya."
"Kalau begitu, apa yang seharusnya kulakukan?'
"Mintalah jin itu sebuah contoh pemberian yang bisa ia berikan. Mintalah cara menjaga pemberian itu dan ujilah caranya. Mintalah pengetahuan, jangan barang milik, sebab milik tanpa pengetahuan adalah sia-sia, dan itulah penyebab semua kekhawatitan kita."
Sekarang, karena telah tepekur dan waspada, pemuda itu bisa menyusun rencananya ketika ia kembali ke gua tempat botol jin itu diletakkan. Ia pun mengetuk botol itu, dan terdengar suara jin itu berkata, "Dalam nama Sulaiman yang Perkasa, damai baginya, bebaskan aku, wahai putra Adam!"
"Aku tak percaya bahwa kau seperti yang kau akui, dan bahwa kau memiliki kuasa seperti yang kau katakan," jawab pemuda itu.
"Kau tak percaya? Tak tahukah kau bahwa aku tak bisa berbohong?" sahut jin itu.
"Tidak, aku tak percaya," kata nelayan itu.
"Lalu, bagaimana aku bisa meyakinkanmu?"
"Tunjukkan padaku kekuatanmu. Bisakah kau mempergunakan kuasa tertentu melewati dinding botol?"
"Ya, tetapi kekuatanku ini tak cukup kuat untuk membebaskan diriku."
"Baik sekali, kemudian kau juga harus memberiku kemampuan untuk mengetahui kebenaran tentang masalah yang ada di pikiranku."
Segera saja, setelah jin itu menggunakan kemampuan gaibnya, nelayan itu pun segera sadar akan sumber petuah tadi yang diwariskan oleh kakeknya. Ia juga menyaksikan seluruh peristiwa pembebasan jin itu oleh kakeknya berpuluh-puluh tahun silam; dan dilihatnya pula cara untuk menyampaikan kepada orang lain tentang bagaimana memperoleh kemampuan serupa itu dari para jin. Tetapi, ia pun menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dan begitulah, si nelayan membawa botol itu dan, seperti kakeknya, melemparnya kembali ke lautan.
Pemuda itu pun menghabiskan sisa hidupnya bukan sebagai nelayan, tetapi sebagai orang yang mencoba menjelaskan kepada orang lain, bahaya yang menimpa 'manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'.
Namun, karena sedikit orang yang pernah menemukan jin dalam botol, dan tak ada orang bijaksana yang menasihati mereka dalam berbagai hal, penerus nelayan itu memutarbalikkan apa yang mereka sebut 'ajarannya', dan menirukan penjelasannya. Pada akhirnya, penyelewengan itu menjadi suatu agama. Mereka terkadang minum dari botol-botol aneh yang disimpan di dalam kuil-kuil mahal dan serba megah. Dan karena mereka mengagumi kelakuan pemuda nelayan itu, mereka berusaha keras untuk menyamai perbuatan dan sikapnya dalam segala hal.
Kini berabad-abad kemudian, bagi para pengikut agama tersebut, botol itu tinggal lambang suci dan menyisakan misteri. Mereka mencoba saling menyayangi hanya karena mereka menyayangi nelayan itu. Dan di tempat nelayan itu mereka menetap dan membangun sebuah gubug sederhana. Mereka memakai pakaian dan perhiasan bagus-bagus, serta melakukan ritual yang rumit.
Mereka tak tahu bahwa para pengikut orang bijaksana itu masih hidup, demikian pula anak-cucu nelayan itu. Botol kuningan itu pun tetap tergeletak di relung samudera dan jin itu tertidur di dalamnya.
Meskipun bentuknya agak berbeda dari botol lain yang lazim dilihatnya, nelayan itu berpikir kalau-kalau botol tersebut berisi sesuatu yang berharga. Lagipula, hari itu tangkapannya jelek, paling tidak ia bisa menjual botol kuningan itu kepada pedagang kuningan.
Botol itu tidak begitu besar. Pada lehernya, tergores simbol aneh, Meterai Sulaiman, Raja dan Guru. Di dalam botol itu terperangkap suatu jin yang menakutkan, dan Sulaiman sendiri telah membuangnya ke laut agar manusia terlindung dari roh itu sampai saatnya tiba ketika tampil seseorang yang bisa mengendalikannya, menempatkan jin itu pada tugasnya sebagaimana semestinya, yaitu melayani manusia.
Tetapi, nelayan itu tak mengetahui hal tersebut. Yang ia tahu adalah bahwa botol itu bisa ia selidiki, dan mungkin akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Lupa akan petuah, 'Manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya,' nelayan itu menarik sumbat timahnya.
Ia menelungkupkan botol itu, namun tampaknya kosong. Lalu, ia meletakkan dan memandangi botol itu. Kemudian, terlihat suatu gumpalan asap tipis, yang semakin pekat, membumbung naik dan membentuk hantu raksasa dan seram, yang berseru dengan nyaring, "Aku Pemimpin Bangsa Jin yang mengetahui rahasia peristiwa-peristiwa gaib. Aku memberontak terhadap Sulaiman; dan ia mengurungku dalam botol laknat ini. Nah, sekarang kau akan kubunuh!"
Nelayan itu ketakutan dan tersungkur di pasir sambil menangis, "Akan kau bunuh jugakah orang yang membebaskanmu?"
"Tentu saja," kata jin itu, "Sebab berontak adalah sifatku, dan merusak adalah keahlianku, meskipun kurungan itu telah menahanku ribuan tahun lamanya."
Sekarang, nelayan itu menyadari bahwa, alih-alih mendapat keuntungan dari tangkapan tak disangka itu, ia akan binasa begitu saja tanpa alasan yang bisa dimaklumi. Ia memandangi meterai pada sumpal botol itu, dan mendadak terpikir olehnya suatu ide. "Kau tak mungkin muncul dari botol itu, botol itu terlalu kecil," katanya.
"Apa! Kau meragukan ucapan Pemimpin Para Jin?" teriak bayangan itu. Dan, jin itu pun mengubah dirinya menjadi gumpalan asap dan ia masuk kembali ke dalam botol itu. Nelayan itu mengambil sumbat tadi dan memeteraikannya pada botol itu. Kemudian, botol itu ia lemparkan jauh-jauh, ke kedalam lautan.
Berpuluh-puluh tahun lewat, sampai suatu hari nelayan lain, yaitu cucu nelayan pertama tadi, melabuhkan jalanya di tempat yang sama, dan mendapati botol itu. Ia menaruh botol itu di pasir. Ketika baru saja hendak membukanya, ia teringat akan nasihat ayahnya, yang diturunkan dari kakeknya. Bunyi nasihat itu: 'Manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'.
Dan tepat pada saat itu, karena guncangan pada penjara logam itu, si jin terbangun dari tidurnya, dan berseru, "Hai putra Adam, siapa pun kau, buka sumbat botol ini dan bebaskan aku! Sebab Akulah Pemimpin Bangsa Jin yang mengetahui rahasia peristiwa gaib."
Karena mengingat pesan leluhurnya, nelayan muda itu pun meletakkan botol itu dengan hati-hati di dalam sebuah gua. Lalu, ia mendaki bukit karang yang terjal di dekat situ, mencari pondok seorang bijaksana.
Ia pun menceritakan semuanya kepada orang bijaksana itu, yang berkata, "Pesan leluhurmu itu benar adanya kau harus melakukannya sendiri, tetapi terlebih dahulu kau harus memahami cara mempergunakannya."
"Tetapi, apa yang harus kulakukan?" tanya pemuda itu. "
Pasti ada sesuatu yang kau rasa ingin kau lakukan?" kata orang bijaksana itu.
"Aku ingin membebaskan jin itu agar ia bisa memberiku pengetahuan ajaib atau mungkin gunungan emas, dan lautan jamrud, dan semua pemberian lain yang biasa diberikan oleh para jin."
"Harapanmu itu tidak akan terjadi," kata sang guru, "Sebab ketika jin itu dibebaskan, ia mungkin tidak akan mengabulkan keinginanmu itu atau mungkin ia akan memberikannya tetapi mengambilnya kembali karena kau tak punya cara untuk melindungi para jin, belum lagi petaka yang bisa saja menimpamu ketika kau melakukan sesuatu serupa itu. Sebab, manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya."
"Kalau begitu, apa yang seharusnya kulakukan?'
"Mintalah jin itu sebuah contoh pemberian yang bisa ia berikan. Mintalah cara menjaga pemberian itu dan ujilah caranya. Mintalah pengetahuan, jangan barang milik, sebab milik tanpa pengetahuan adalah sia-sia, dan itulah penyebab semua kekhawatitan kita."
Sekarang, karena telah tepekur dan waspada, pemuda itu bisa menyusun rencananya ketika ia kembali ke gua tempat botol jin itu diletakkan. Ia pun mengetuk botol itu, dan terdengar suara jin itu berkata, "Dalam nama Sulaiman yang Perkasa, damai baginya, bebaskan aku, wahai putra Adam!"
"Aku tak percaya bahwa kau seperti yang kau akui, dan bahwa kau memiliki kuasa seperti yang kau katakan," jawab pemuda itu.
"Kau tak percaya? Tak tahukah kau bahwa aku tak bisa berbohong?" sahut jin itu.
"Tidak, aku tak percaya," kata nelayan itu.
"Lalu, bagaimana aku bisa meyakinkanmu?"
"Tunjukkan padaku kekuatanmu. Bisakah kau mempergunakan kuasa tertentu melewati dinding botol?"
"Ya, tetapi kekuatanku ini tak cukup kuat untuk membebaskan diriku."
"Baik sekali, kemudian kau juga harus memberiku kemampuan untuk mengetahui kebenaran tentang masalah yang ada di pikiranku."
Segera saja, setelah jin itu menggunakan kemampuan gaibnya, nelayan itu pun segera sadar akan sumber petuah tadi yang diwariskan oleh kakeknya. Ia juga menyaksikan seluruh peristiwa pembebasan jin itu oleh kakeknya berpuluh-puluh tahun silam; dan dilihatnya pula cara untuk menyampaikan kepada orang lain tentang bagaimana memperoleh kemampuan serupa itu dari para jin. Tetapi, ia pun menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dan begitulah, si nelayan membawa botol itu dan, seperti kakeknya, melemparnya kembali ke lautan.
Pemuda itu pun menghabiskan sisa hidupnya bukan sebagai nelayan, tetapi sebagai orang yang mencoba menjelaskan kepada orang lain, bahaya yang menimpa 'manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'.
Namun, karena sedikit orang yang pernah menemukan jin dalam botol, dan tak ada orang bijaksana yang menasihati mereka dalam berbagai hal, penerus nelayan itu memutarbalikkan apa yang mereka sebut 'ajarannya', dan menirukan penjelasannya. Pada akhirnya, penyelewengan itu menjadi suatu agama. Mereka terkadang minum dari botol-botol aneh yang disimpan di dalam kuil-kuil mahal dan serba megah. Dan karena mereka mengagumi kelakuan pemuda nelayan itu, mereka berusaha keras untuk menyamai perbuatan dan sikapnya dalam segala hal.
Kini berabad-abad kemudian, bagi para pengikut agama tersebut, botol itu tinggal lambang suci dan menyisakan misteri. Mereka mencoba saling menyayangi hanya karena mereka menyayangi nelayan itu. Dan di tempat nelayan itu mereka menetap dan membangun sebuah gubug sederhana. Mereka memakai pakaian dan perhiasan bagus-bagus, serta melakukan ritual yang rumit.
Mereka tak tahu bahwa para pengikut orang bijaksana itu masih hidup, demikian pula anak-cucu nelayan itu. Botol kuningan itu pun tetap tergeletak di relung samudera dan jin itu tertidur di dalamnya.
Kisah Haji Abdullah bin al-Mubarak
Abdullah bin al-Mubarak hidup di Mekkah. Pada suatu waktu, setelah
menyelesaikan ritual ibadah haji, dia tertidur dan bermimpi melihat dua
malaikat yang turun dari langit.
“Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“600.000,” jawab malaikat lainnya.
“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak satupun”
Percakapan ini membuat Abdullah gemetar. “Apa?” aku menangis. “Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasing yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”
“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq.” Kata malaikat yang pertama. “Dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni.”
Ketika aku mendengar hal ini, aku terbangun dan memutuskan untuk pergi menuju Damaskus dan mengunjungi orang ini. Jadi aku pergi ke Damaskus dan menemukan tempat dimana ia tinggal. Aku menyapanya dan ia keluar. “ Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kau lakukan?” tanyaku. “Aku Ali bin Mowaffaq, penjual sepatu. Siapakah namamu?”
Kepadanya aku mengatakan Abdullah bin al-Mubarak. Ia tiba-tiba menangis dan jatuh pingsan. Ketika ia sadar, aku memohon agar ia bercerita kepadaku. Dia mengatakan: “Selama 40 tahun aku telah rindu untuk melakukan perjalanan haji ini. Aku telah menyisihkan 350 dirham dari hasil berdagang sepatu. Tahun ini aku memutuskan untuk pergi ke Mekkah, sejak istriku mengandung. Suatu hari istriku mencium aroma makanan yang sedang dimasak oleh tetangga sebelah, dan memohon kepadaku agar ia bisa mencicipinya sedikit. Aku pergi menuju tetangga sebelah, mengetuk pintunya kemudian menjelaskan situasinya. Tetanggaku mendadak menagis. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu.” Hatiku serasa terbakar ketika aku mendengar ceritanya. Aku mengambil 350 dirhamku dan memberikan kepadanya. “Belanjakan ini untuk anakmu,” kataku. “Inilah perjalanan hajiku.”
“Malaikat berbicara dengan nyata di dalam mimpiku,” kata Abdullah, “dan Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam keputusanNya.”
“Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“600.000,” jawab malaikat lainnya.
“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak satupun”
Percakapan ini membuat Abdullah gemetar. “Apa?” aku menangis. “Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasing yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”
“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq.” Kata malaikat yang pertama. “Dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni.”
Ketika aku mendengar hal ini, aku terbangun dan memutuskan untuk pergi menuju Damaskus dan mengunjungi orang ini. Jadi aku pergi ke Damaskus dan menemukan tempat dimana ia tinggal. Aku menyapanya dan ia keluar. “ Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kau lakukan?” tanyaku. “Aku Ali bin Mowaffaq, penjual sepatu. Siapakah namamu?”
Kepadanya aku mengatakan Abdullah bin al-Mubarak. Ia tiba-tiba menangis dan jatuh pingsan. Ketika ia sadar, aku memohon agar ia bercerita kepadaku. Dia mengatakan: “Selama 40 tahun aku telah rindu untuk melakukan perjalanan haji ini. Aku telah menyisihkan 350 dirham dari hasil berdagang sepatu. Tahun ini aku memutuskan untuk pergi ke Mekkah, sejak istriku mengandung. Suatu hari istriku mencium aroma makanan yang sedang dimasak oleh tetangga sebelah, dan memohon kepadaku agar ia bisa mencicipinya sedikit. Aku pergi menuju tetangga sebelah, mengetuk pintunya kemudian menjelaskan situasinya. Tetanggaku mendadak menagis. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu.” Hatiku serasa terbakar ketika aku mendengar ceritanya. Aku mengambil 350 dirhamku dan memberikan kepadanya. “Belanjakan ini untuk anakmu,” kataku. “Inilah perjalanan hajiku.”
“Malaikat berbicara dengan nyata di dalam mimpiku,” kata Abdullah, “dan Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam keputusanNya.”
******
Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al
Marwazi lahir pada tahun 118 H/736 M. Ia adalah seorang ahli Hadits yang
terkemuka dan seorang petapa termasyhur. Ia sangat ahli di dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di dalam bidang gramatika
dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberi
bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal dunia di kota Hit yang
terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M.
*********
Kisah Imam Al-Ghazali Berguru Kepada Tukang Sol Sepatu
Suatu
malam disaat orang sedang terlelap, Syekh Abdul Wahab Rokan yang saat
itu masih muda dan sedang berguru kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabbal
Qubis Makkah sedang membersihkan kamar mandi Gurunya menggunakan kedua
tangannya tanpa merasa jijik dan melakukan dengan penuh ikhlas. Di saat
Beliau melakukan tersebut, tiba-tiba Guru Syekh Sulaiman Zuhdi lewat dan
berkata, “Kelak tanganmu akan di cium raja-raja dunia”. Ucapan
Gurunya itu dikemudian hari terbukti dengan banyak raja yang menjadi
murid Beliau dan mencium tangan Beliau salah satunya adalah Sultan Musa
al-Muazzamsyah, Raja di Kerajaan Langkat, Sumatera Utara.
Kisah
berguru dalam ilmu hakikat mempunyai keunikan tersendiri, seperti kisah
Sunan Kalijaga yang menjaga tongkat Gurunya dalam waktu lama, dengan
itu Beliau lulus menjadi seorang murid. Berikut kisah Ulama Besar Imam
Al-Ghazali memperoleh pencerahan bathin bertemu dengan pembimbing
rohaninya, kisah ini saya di kutip dari Buku Tuntunan Mencapai Hidayah
Ilahi hal. 177, 178. Karya Imam Al Ghazali
Imam
Ghazali seorang Ulama besar dalam sejarah Islam, hujjatul islam yang
banyak hafal hadist Nabi SAW. Beliau dikenal pula sebagai ahli dalam
filsafat dan tasawuf yang banyak mengarang kitab-kitab.
Suatu
ketika Imam Al Ghazali menjadi imam disebuah masjid . Tetapi saudaranya
yang bernama Ahmad tidak mau berjamaah bersama Imam Al Ghazali lalu
berkata kepadanya ibunya :
“Wahai
ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat mengikutiku, supaya
orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya“.
Ibu
Al Ghazali lalu memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada
saudaranya Al Ghazali. Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu, shalat
bermakmum kepada Al Ghazali.Namun ditengah-tengah shalat, Ahmad melihat
darah membasah perut Imam. Tentu saja Ahmad memisahkan diri.
Seusai shalat Imam Al Ghazali bertanya kepada Ahmad, saudaranya itu : “Mengapa engkau memisahkan diri (muffaragah) dalam shalat yang saya imami ? “. Saudaranya menjawab : “Aku memisahkan diri, karena aku melihat perutmu berlumuran darah “.
Mendengar
jawaban saudaranya itu, Imam Ali Ghazali mengakui, hal itu mungkin
karena dia ketika shalat hatinya sedang mengangan-angan masalah fiqih
yang berhubungan haid seorang wanita yang mutahayyirah.
Al Ghazali lalu bertanya kepada saudara : “Dari manakah engkau belajar ilmu pengetahuan seperti itu ?” Saudaranya menjawab, “Aku belajar Ilmu kepada Syekh Al Utaqy AL-Khurazy yaitu seorang tukang jahit sandal-sandal bekas (tukang sol sepatu) . ” Al Ghazali lalu pergi kepadanya.
Setelah berjumpa, Ia berkata kepada Syekh Al khurazy : “Saya ingin belajar kepada Tuan “. Syekh itu berkata : Mungkin saja engkau tidak kuat menuruti perintah-perintahku “.
Al Ghazali menjawab : “Insya Allah, saya kuat “.
Syekh Al Khurazy berkata : “Bersihkanlah lantai ini “.
Al Ghazali kemudian hendak dengan sapu. Tetapi Syekh itu berkata : “Sapulah (bersihkanlah) dengan tanganmu“.
Al Ghazali menyapunya lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat
kotoran yang banyak dan bermaksud menghindari kotoran itu.
Namun Syekh berkata : “Bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu“.
Al Ghazali lalu bersiap membesihkan dengan menyisingkan pakaiannya. Melihat keadaan yang demikian itu Syekh berkata : “Nah bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu” .
Al Ghazali menuruti perintah Syekh Al Khurazy dengan ridha dan tulus.
Namun
ketika Al Ghazali hendak akan mulai melaksanakan perintah Syekh
tersebut, Syekh langsung mencegahnya dan memerintahkan agar pulang.
Al
Ghazali pulang dan setibanya di rumah beliau merasakan mendapat ilmu
pengetahuan luar biasa. Dan Allah telah memberikan Ilmu Laduni atau ilmu
Kasyaf yang diperoleh dari tasawuf atau kebersihan qalbu kepadanya.
BERANDALAN MASUK SURGA
Nabi Muhammad SAW, menyebutkan
bahwa di kalangan bani Israil dulu ada seorang berandalan. Ia tidak pernah
absen melakukan dosa. Suatu saat datang seorang perempuan menemuinya. Ia
memberikan uang sebanyak enam puluh dinar kepada perempuan tersebut dengan
syarat ia dapat berhubungan badan dengannya. Ketika berandalan ini telah berada
di atas tubuh perempuan tersebut, tiba-tiba perempuan in bergetar dan menangis.
Ia berkata, “Kenapa engkau menangis? Apakah saya mengecewakanmu?” Si perempuan
menjawab, “Tidak, hanya tindakan ini adalah tindakan yang belum pernah saya
lakukan sama sekali. Saya mau melayanimu karena saya terpaksa oleh kebutuhan
makan. “Si berandalan berkata, “Engkau mau melakukan ini sementara engkau belum
pernah melakukannya sama sekali?” Ya, sudah pergi dan bawa uang ini untukmu!”
Setelah kejadian tersebut berandalan ini berkata, “Demi Allah, saya bersumpah
tidak akan maksiat lagi kepada Allah,” Pada malam itu juga orang tersebut
meninggal. Ketika waktu pagi tiba, di atas pintunya tertulis sebuah kalimat,
“Allah telah mengampuni berandalan ini.” Orang-orang pada merasa kaget atas
keadaan tersebut.
PENCARIAN TIGA DARWIS
Konon, ada tiga orang darwis.
Mereka bernama Yak, Do, dan Se. Mereka masing-masing berasal dari Utara, Barat,
dan Selatan. Mereka memiliki suatu hal yang sama: berusaha mencari Kebenaran
Dalam, oleh karenanya mereka mencari Jalan.
Yang pertama, Yak-Baba, duduk
dan merenung sampai kepalanya pening. Yang kedua, Do-Aghas tegak dengan kepala
di bawah sehingga kakinya kaku. Yang ketiga, Se-Kalandar, membaca buku-buku
sampai hidungnya mengeluarkan darah.
Akhirnya mereka memutuskan
untuk berusaha bersama-sama. Mereka mengundurkan diri ke tempat sunyi dan
melakukan latihan bersama, mengharap agar ketiga kekuatan yang digabung akan
cukup kuat untuk mendatangkan Kebenaran, yang mereka sebut Kebenaran Dalam.
Empat puluh hari empat puluh
malam lamanya mereka bertahan menderita. Akhirnya, dalam pusaran asap putih
muncullah kepala seorang lelaki yang sangat tua di hadapan mereka; tampaknya ia
muncul dari tanah. “Apakah kau Kidir yang gaib itu, pemandu manusia?” tanya
darwis pertama. “Bukan, ia Kutub, Tiang Semesta,” sahut yang kedua. “Aku yakin,
itu pasti tak lain salah seorang dari para Abdal. Orang-orang Yang Terubah,”
kata yang ketiga.
“Salah semua” teriak
bayang-bayang itu keras-keras, “tetapi aku adalah apapun yang kau inginkan
tentangku. Dan kini kalian menginginkan satu hal, yakni yang kau sebut
Kebenaran Dalam?”
“Ya, O Guru,” sahut mereka
serentak.
“Pernahkah kalian mendengar
peribahasa, ada banyak Jalan sebanyak hati manusia?” tanya kepala itu.
Bagaimanapun, inilah jalanmu:
“Darwis pertama akan mengembara
melalui Negeri Orang Tolol; Darwis Kedua harus menemukan Cermin Ajaib; Darwis
Ketiga harus meminta pertolongan Jin Pusaran Air.” Setelah berkata demikian,
kepala itupun menghilang.
Mereka bertiga membicarakan
masalah itu, tidak hanya karena mereka memerlukan penjelasan lebih lanjut
sebelum berangkat, tetapi juga karena meskipun mereka semua telah mengadakan
latihan berbagai cara, masing-masing percaya bahwa hanya ada satu cara yakni
caranya sendiri, tentu saja. Dan kini, masing-masing tidak yakin benar bahwa
caranya sendiri itu cukup berguna, meskipun boleh dikatakan telah mampu
mendatangkan bayang-bayang yang baru saja mereka saksikan tadi, yang namanya
sama sekali tidak mereka ketahui.
Yak-Babalah pertama-tama
meninggalkan tempat samadinya; biasanya ia akan bertanya kepada orang yang
ditemuinya, apakah ada orang bijaksana yang tinggal dekat-dekat daerah itu;
tetapi kini ia bertanya apakah mereka mengetahui Negeri Orang Tolol. Akhirnya
setelah berbulan-bulan lamanya, ada juga yang tahu, dan berangkatlah ia menuju
kesana. Segera setelah ia memasuki negeri itu, dilihatnya seorang wanita
menggendong pintu. “Wanita,” tanyanya, “mengapa kau gendong pintu itu?”
“Sebab, pagi tadi, sebelum
berangkat kerja, suamiku berpesan: “Istriku, di rumah kita ini tersimpan harta
berharga. Jangan kau perbolehkan orang melewati pintu ini.”
Karena aku pergi, ku bawa
pintu ini agar tidak ada yang melewatinya. Kini perkenankanlah saya
melewatimu.”
“Apakah saya boleh
menjelaskan sesuatu agar kau tahu bahwa sebenarnya tak perlu kau bawa
kemana-mana pintu itu?” tanya Darwis Yak-Baba. “Tidak usah,” kata wanita itu.
“Satu-satunya yang bisa
menolong adalah apabila Saudara bisa menjelaskan cara memperingan bobot pintu
ini.”
“Wah, itu saya tidak tahu,”
kata Darwis. Dan mereka pun berpisah.
Beberapa langkah kemudian ia
menjumpai sekelompok orang. Mereka semua gemetar ketakutan di depan sebuah
semangka besar yang tumbuh di ladang. “Kami belum pernah melihat raksasa itu
sebelumnya,” mereka menjelaskan kepada Darwis itu, “dan tentunya ia akan tumbuh
semakin besar dan membunuh kami semua. Tetapi kami takut menyentuhnya.”
“Bolehkah saya mengatakan
sesuatu kepada kalian tentang itu?” tanyanya kepada mereka.
“Jangan goblok!” jawab
mereka. “Bunuhlah ia, dan kau akan diberi hadiah, tetapi kami tidak mau tahu
apapun tentangnya.” Maka Darwis itupun mengeluarkan pisau, mendekati semangka
itu, memotong seiris, dan kemudian mulai memakannya.
Di tengah-tengah jerit
ketakutan yang hiruk-pikuk orang-orang itu memberinya uang. Ketika ia pergi,
mereka berkata, “Kami mohon jangan kembali kemari, Tuan Pembunuh Raksasa.
Jangan datang kemari dan memakan kami seperti tadi!”
Demikianlah, sedikit demi
sedikit ia mengerti bahwa di Negeri Orang Tolol, agar bisa bertahan hidup,
orang harus bisa berfikir dan berbicara seperti orang tolol. Setelah beberapa
tahun lamanya, ia mencoba mengubah beberapa orang tolol menjadi waras, dan
sebagai hadiahnya pada suatu hari Darwis itu mendapatkan Pengetahuan Dalam.
Meskipun ia menjadi orang suci di Negeri Orang Tolol, rakyat mengingatnya hanya
sebagai Orang yang Membelah Raksasa Hijau dan Meminum Darahnya. Mereka mencoba
melakukan hal yang sama, untuk mendapatkan Pengetahuan Dalam –dan mereka tak
pernah mendapatkannya.
Sementara itu, Do-Agha,
Darwis Kedua, memulai perjalanannya mencari Pengetahuan Dalam. Kali ini ia
tidak menanyakan tentang orang-orang suci atau cara-cara latihan yang baru,
tetapi tentang Cermin Ajaib, Jawaban-jawaban yang menyesatkan sering
didengarnya, namun akhirnya ia mengetahui tempat Cermin itu. Cermin itu
tergantung di sumur pada seutas tali yang selembut rambut, dan sebenarnya hanya
sebagian saja, sebab Cermin itu terbuat dari pikiran-pikiran manusia, dan tidak
ada cukup pikiran untuk bisa membuatnya sebuah Cermin yang utuh.
Setelah itu ia berhasil menipu
raksasa yang menjaganya, Do-Agha menatap Cermin itu dan meminta Pengetahuan
Dalam.
Sekejap saja ia sudah
memilikinya. Iapun tinggal di sebuah tempat dan mengajar dengan penuh
kebahagiaan beberapa tahun lamanya. Tetapi pengikut-pengikutnya tidak bisa mencapai
taraf pemusatan pikiran yang diperlukan untuk memperbaharui cermin itu secara
teratur, cermin itu pun lenyaplah. Namun, sampai hari ini masih ada orang-orang
yang menatap cermin, membayangkan bahwa Cermin Ajaib Do-Agha, Sang Darwis.
Sedangkan Darwis Ketiga,
Se-Kalandar, ia pergi ke mana-mana mencari Jin Pusaran Air. Jin itu dikenal
dengan pelbagai nama, namun Se-Kalandar tidak mengetahuinya; dan bertahun-tahun
lamanya ia bersilang jalan dengan Jin itu, senantiasa gagal menemuinya karena
Jin itu di sana tidak dikenal sebagai Jin dan mungkin tidak dikait-kaitkan
dengan pusaran air.
Akhirnya, setelah
bertahun-tahun lamanya, ia pergi ke sebuah dusun dan bertanya, “O
Saudara-saudara! apakah ada diantara kalian yang pernah mendengar tentang Jin
Pusaran Air?”
“Saya tak pernah mendengar
tentang Jin itu,” kata seseorang, “tetapi desa ini disebut Pusaran Air.”
Darwis merubuhkan tubuhnya ke
tanah dan berteriak, “Aku tak akan meninggalkan tempat ini sampai Jin Pusaran
Air muncul di hadapanku!”
Dan Jin itu, yang sedang
lewat dekat tempat itu, memutar langkahnya dan berkata, “Kami tidak menyukai
orang asing di desa kami, darwis. Karena itu aku datang padamu. Nah, apa yang
kau cari?”
Aku mencari Pengetahuan
Dalam, dan aku diberi tahu bahwa dalam keadaan tertentu kau bisa mengatakan
padaku bagaimana mendapatkannya.
“Tentu, aku bisa,” kata Si
Jin. “Kau telah mengalami banyak hal. Yang harus kau lakukan tinggal
mengucapkan ungkapan ini, menyanyikan lagu itu, melakukan tindakan itu. Kau pun
nanti akan mendapatkan Pengetahuan Dalam.”
Darwis itu mengucapkan terima
kasih kepada Jin, lalu memulai latihannya. Bulan-bulan berlalu, kemudian
bertahun-tahun, sampai akhirnya ia berhasil melakukan pengabdian dan
ketaatannya secara benar. Orang-orang datang dan menyaksikannya dan kemudian
meniru-nirunya, karena semangatnya, dan karena ia dikenal sebagai orang yang
taat dan saleh.
Akhirnya Darwis itu mencapai
Pengetahuan Dalam; jauh meninggalkan pengikut-pengikutnya yang setia, yang
meneruskan cara-caranya. Tentu saja mereka itu tidak pernah mencapai
Pengetahuan Dalam, sebab mereka memulai pada akhir telaah Sang Darwis.
Setelah itu, apabila ada
pengikut-pengikut ketiga Darwis itu bertemu, salah seorang berkata, “Aku
memiliki kaca Tataplah, dan kau akan mencapai Pengetahuan Dalam.”
Yang lain menjawab,
“Korbankan semangka, ia akan menolongmu seperti yang pernah terjadi atas
Yak-Baba.”
Yang ketiga menyela, “Tak
mungkin: Satu-satunya cara adalah tabah dalam mempelajari dan menyusun latihan
tertentu, sembahyang, dan bekerja keras.”
Ketika pada kenyataannya
ketiga Darwis itu berhasil mencapai Pengetahuan Dalam, mereka bertiga
mengetahui bahwa tak mampu menolong mereka yang telah mereka tinggalkan di
belakang: seperti ketika seorang terbawa oleh air pasang dan melihat di darat
ada seorang diburu singa, dan tidak bisa menolongnya.
Catatan
Catatan
Petualangan-petualangan
orang-orang ini nama-nama mereka berarti “satu,” “dua” dan “tiga”
–kadang-kadang diartikan sebagai ejekan terhadap agama yang lazim.
Kisah ini merupakan ringkasan
sebuah kisah ajaran yang terkenal, “Apa yang Terjadi atas Mereka Bertiga.”
Kisah ini dianggap sebagai ciptaan guru Sufi, Murad Shami, kepala Kaum Muradi,
yang meninggal tahun 1719. Para darwis yang menceritakannya menyatakan bahwa
kisah ini mempunyai pesan dalam yang jauh lebih penting dalam hal-hal praktis,
daripada arti yang diluarnya saja.
HAKIKAT HAJI
Abdullah bin Mubarak
menceritakan sewaktu beliau tertidur di Masjidil Haram, beliau melihat dua
malaikat turun dari langit. Berkata salah seorang darinya, “Berapa jumlah orang
yang menunaikan haji tahun ini?” Jawab yang disebelahnya, “600,000 orang.”
“Di antara mereka berapakah
yang diterima hajinya?” Jawab malaikat kedua, “Di antara mereka, hanya seorang
saja. Namanya Muwaffaq, dia tinggal di Damsyik, pekerjaannya sebagai tukang
sepatu, dia tidak dapat berhaji, tetapi hajinya diterima oleh Allah,” Bila
tersadar dari tidur, Abdullah segera berangkat ke Damsyik untuk mencari lelaki
ini.
Setelah bertemu, Abdullah pun
bertanya, “Terangkan padaku, apakah amalanmu sehingga mencapai derajat yang
tinggi?” Jawab Muwaffaq, “Dengan rahmat Allah, aku telah mengumpulkan uang
sebanyak 300 dirham yang aku simpankannya untuk mengerjakan haji pada tahun
ini. Wwaktu itu, isteriku sedang hamil dan dia telah tercium sesuatu dari rumah
jiran dan dia menyuruhku memintanya sedikit karena mengidam.
Aku pun mendapatkan jiranku
itu. Berkata jiranku kepadaku, “Aku terpaksa memberitahumu satu perkara,
anak-anakku sudah tiga hari tidak makan.”
Sewaktu aku keluar mencari
makanan, aku terjumpa bangkai keledai lalu aku potong sebagian dagingnya lalu
aku masak, maka makanan ini halal bagi kami tetapi haram bagimu.
Mendengarkan kata-kata wanita
ini, aku segera pulang ke rumah dan mengambil uang 300 dirham itu lalu aku
berikan padanya. Aku berkata kepada diriku, “hajiku hanya di pintu rumah
jiranku.” Hanya itulah saja amalanku.
Demikianlah besarnya rahmat
Allah kepada hambanya, sesungguhnya Allah tidak memandang pada harga yang kita
ada tetapi niat yang ikhlas lagi suci.
IKAN BERACUN
Salah seorang tukang pancing berangkat di pagi untuk mencari
rezeki yang halal. Dia melemparkan kailnya ke atas sungai. namun, sudah beberapa
lama ia menyimpan kail tidak satupun ikan yang nyangkut. ia berdoa dengan nada
sumpah kepada Allah bahwa anak-anaknya berteriak kelaparan di rumahnya.
sebentar lagi matahari akan segera terbenam. akhirnya Allah memberikan rezeki,
yaitu berupa ikan yang sangat besar. Ia bersyukur kepada Allah SWT. Ia segera
mengambilnya dan membawa pulang dalam keadaan penuh rasa bahagia.
Ketika sedang menempuh jalan yang
menuju ke rumahnya, tiba-tiba ia bertemu dengan rombongan seorang raja yang
sedang jalan-jalan untuk mencari angin segar. Sang raja melihat orang yang
membawa ikan tadi dan meminta untuk mendekat. Raja mengetahui bahwa orang
tersebut membawa ikan. ia sangat terpesona dengan ikan tersebut. Maka, ia
mengambil secara paksa darinya dan dibawa ke istananya. Sang raja bermaksud
memberi kejutan kepada permaisurinya. Ia mengeluarkan ikan tersebut di hadapan
sang permaisuri dan ikan pun berputar-putar.
Tiba-tiba ikan tersebut menggigit
tangan raja. semalam suntuk sang raja tidak dapat istirahat dan tidak bisa tidur.
Lalu ia memanggil para tabib kerajaan agar mengobatinya. Para tabib
menganjurkan agar jari tangan sang raja dipotong. Maka, jari sang raja
dipotong. Namun, tetap saja semalam suntuk dirinya tidakbisa tidur. Racun ikan
tersebut telah merasuki seluruh tangannya.
Selanjutnya, para tabib
menganjurkan agar tangan raja dipotong. dipotonglah tangan sang raja. Namun,
setelah tangannya dipotong pun sang raja tidak dapat beristirahat. Bahkan, ia
terus menjerit-jerit meminta tolong. Para tabib menganjurkan agar pergelangan
tangannya sampai ke sikut dipotong. Memang, setelah tangannya dipotong sampai
pada bagian sikut raja, rasa sakitnya terhenti. Namun, jiwanya tidak merasa
tenang karena ia tahu keadaan dirinya yang tidak memiliki satu tangan.
Akhirnya, para tabib menganjurkan
agar sang raja berobat kepada ulam ahli penyakit jiwa. Sang raja berangkat
menemui seorang ulama ahli jiwa. Di hadapan sang ulama rja tersebut membeberkan
kisah ikan yang diambilnya secara paksa dari seorang tukang pancing. Ulama
tersebut berkata, “Jiwamu tidak akan kecuali jika tukang pancing tersebut
memaafkanmu.” Maka sang raja berupaya mencari tukang pancing yang dirampas
ikannya itu. Akhirnya, raja menemukannya. Raja mengadukan masalah
penderitaannya dan meminta kepadanya agar mau memaafkannya. Tukang pancing
tersebut memaafkan raja sehingga ia merasa tenang. Lalu ia bertanya kepada
tukang pancing tadi, “Apa yang engkau katakan untukku, ketika ikanmu dirampas
olehku?” Tukang pancing berkata, “Saya tidak mengatakan apa-apa kecuali satu kalimat,
“Ya Allah, ia telah melemahkan kekuatanku. Tampakkanlah kekuasaan-Mu
kepadanya!”
Subscribe to:
Posts (Atom)